Mentari perlahan mendaki ke puncak langit, ketika saya sampai di Perempatan Timuran Kota Solo. Saya turun dari bus AKDP Gunung Mulia, setelah hampir 3 jam menumpanginya dari pelosok timur Jawa Tengah. Jam biru yang melingkar di pergelangan tangan kiri saya menunjukkan pukul 9 lebih 13.
17 menit lagi, batin saya.
Pagi itu, semilir angin Solo menyapa warga kota dengan sentuhan dingin yang menenangkan. Dipeluk hawa sejuk itu, saya menyusuri pedestrian sejauh 300 meter, sebelum masuk ke sebuah kafe di Jalan Ronggowarsito. Kafe bernuansa merah jambu itu menjadi venue kesepakatan antara saya dan Mbak Rizka, sang penggagas Gebrak Setia.
Minggu lalu, saya membuat janji bertemu dengannya. Lewat surel, Mbak Rizka mengatakan jika kegiatan Gebrak Setia di ‘lapangan’ untuk tahun ini baru saja tuntas. Urunglah niatan saya menjadi saksi bagaimana kegiatan itu berlangsung. Sebagai gantinya, ia menyanggupi berbagi stori mengenai Gebrak Setia.
Gebrak Setia adalah program sosial edukasi kesehatan terkait HIV AIDS yang dijalankan dengan sistem kaderisasi remaja. Program yang diinisiasi Dr. Rizka Ayu Setyani, MPH (34) ini lahir dari penelitian panjang. Jika dirunut, cikal Gebrak Setia bersemi di 2016, dan aktif dijalankan pada 2019 secara face to face di Sleman, DIY. Kini, gerakan bersama ini bisa diakses melalui website ekstrim.org.
Tak lama berselang, di sela saya membuka laptop, seorang perempuan memakai jeans biru, baju merah muda dengan hijab senada, membuka pintu masuk. Langkahnya diiringi tatapan penjaga kafe. Ia tampak mengenali saya.
“Mbak Eta ya?” sapanya. Seuntai senyum merekah, menampakkan giginya yang rata dan putih. “Iya, Mbak Rizka ya?" begitu respon saya memastikan, karena ini kali pertama kami berjumpa.
“Iya, apa kabar mbak?” balasnya sambil mengulurkan tangan kanan, mendekatkan wajah, tanda ingin bersalaman sekaligus cipika-cipiki.
Saya menyambutnya. Kalimat “baik mbak, Mbak Rizka apa kabar?” yang saya ucapkan, dan balasan singkat dari Mbak Rizka, “baik juga mbak,” teresonasi sempurna di sela-sela pipi kami yang menempel sepersekian detik.
Kami duduk berhadapan. Dua meja bulat berwarna broken white menjadi sekat kami. Saya duduk di kursi kayu dengan warna serupa. Sementara Mbak Rizka duduk di kursi busa berwarna pink salem.
Bak sahabat karib yang lama tak bersua, obrolan kami mengalir begitu saja, sesekali diselingi tawa renyah. Mbak Rizka mulai menceritakan penggalan kisah hidupnya —setidaknya dalam 8 tahun ini. Dunia kesehatan yang ia tekuni melahirkan beragam peluang. Bahkan ada yang membawanya ke kancah internasional.
Dengan mata berbinar, ia flashback perjalanannya ke Kolombia saat harus menghadiri rangkaian Emerging Voices for Global Health (EV4GH) pada akhir 2022 silam. Program fully-funded itu mengantar Mbak Rizka sebagai satu-satunya wakil dari Indonesia.
Tak hanya itu. Akhir tahun lalu, ia tinggal di Taiwan selama 5 bulan. Ia mengikuti 2023 New Southbound Policy Elite Study Program di Taipei Medical University dengan beasiswa penuh.
“Saya baru pulang Januari kemarin mbak. Saya milih Taipei karena disana paling concern sama digital health, seksual health, juga komplementer terapi. Bidangnya cukup banyak. Tapi tak apa, at least saya bisa belajar lebih yang digital health,” terangnya. Suaranya penuh gairah, menyiratkan memori kebahagiaannya selama ini.
Semangat Mbak Rizka menyelami digital health bukan tanpa alasan. Gebrak Setia yang awalnya dirancang sebagai kegiatan tatap muka penuh, sejak pandemi covid merebak, dipaksa bertransformasi ke platform digital. Namun, ‘paksaan’ itu justru menjadi inovasi berkah nan berharga.
Gebrak Setia saat ini telah menjadi inovasi digital di bidang kesehatan yang mendapatkan banyak perhatian juga apresiasi. Salah satunya dari SATU Indonesia Award yang diselenggarakan ASTRA pada 2023 lalu. Mbak Rizka mengatakan pada acara itu ada sesi mentoring, untuk membedah inovasinya.
“Saya ingat sekali, yang mementori saya Prof. Nila (Mantan Menkes, sekarang dosen FK UI), beliau bilang kalau Gebrak Setia ini satu-satunya inovasi yang berbasis riset,” ucapnya bangga. “Waktu itu saya di Taiwan Mbak, dan syukurlah acaranya online,” lanjutnya berapi-api.
“Kenapa Mbak Rizka bikin inovasi Gebrak Setia?” selidik saya ingin tahu historinya lebih detail.
“Awalnya karena tesis,” tutur ibu satu anak itu. Ia mengatakan jika topik riset yang ia dalami berfokus pada penggunaan pengaman seksual, dan menyasar tunasusila di Solo. Mau tak mau, ia banyak menyelami dunia yang penuh stigma itu.
“Mungkin kalau mbak-mbak PSK dalam anggapan kita itu yang sexy-sexy. Ternyata tidak. Kalau njenengan ke terminal, di sana ada ibu-ibu yang secara fisik tidak ketara. Perilakunya normal. Bukan yang merokok atau cwawakan,” katanya. Perempuan yang lahir di Bulan Agustus itu mengambil jeda, seakan mencoba mengingat kejadian pada 2016 silam.
Ia melanjutkan, “pelanggan mereka secara finansial nggak banyak. Anak SMP, SMA. Bukan anak kuliahan atau pegawai yang punya uang. Anak-anak (sekolah) itu kebanyakan penasaran.” Deg. Saya jadi teringat alasan Bu Risma —mantan walikota Surabaya (sekarang Mensos), saat menutup lokalisasi terkenal di Surabaya. Tak jauh beda dengan kondisi yang diceritakan Mbak Rizka. Dada saya ikut sesak mendengarnya.
Setelah lulus pada 2017, ia kemudian bekerja sebagai dosen di Yogyakarta. Di kota gudeg itu, pengalaman membawanya semakin jauh pada kenyataan gelap. Ia mengatakan bahwa selama 8 tahun di sana, ia banyak meriset tentang HIV —Human Immunodeficiency Virus.
“Penelitian terkait HIV nggak bisa hanya dengan tahu teori, buat proposal, dibalik laptop, tanpa ke lapangan. Harus betul-betul turun ke lokalisasi,” tandas Mbak Rizka. Kedua tangannya begerak-gerak memberi isyarat jeda pada setiap aktivitas yang ia sebut.
Berkat riset mengenai HIV, jejaringnya pada bidang itu semakin kuat. Mbak Rizka banyak mengenal LSM seperti Victory Plus dan VESTA Indonesia, yang kental akan dunia HIV AIDS. Ia juga berkolaborasi dengan KPA DIY (Komisi Penanggulangan AIDS) dan beberapa puskesmas. Komunikasi dan kolaborasi pun semakin terjalin. Mereka berkarya bersama.
Mbak Rizka mulai menyibak tabir kenangan lebih dalam. Ia menuturkan bahwa tidak sedang penelitian pun, kadang ia diajak oleh Puskesmas Gedong Tengen untuk mengadakan sero survei atau VCT (voluntary counseling and testing). Lokasi puskesmas itu dekat dengan Pasar Kembang. Identik dengan sebutan Sarkem, yang terkenal sebagai tempat pekerja seks komersil bertransaksi.
“Dari situ kenal, oh lokalisasi itu seperti itu ya,” katanya dengan nada setengah memekik. “Kehidupan ternyata sekejam itu di luar sana. Saya mulai lebih membangun empati,” akunya. Seorang pelanggan kafe yang duduk di samping kami turut mencuri dengar, sesekali melirik Mbak Rizka yang asyik mengeluarkan narasinya.
Jarum jam pun terus bergerak. Saya meresapi setiap apa yang diucapkan Mbak Rizka. Perempuan yang memulai karir di Universitas Respati Yogyakarta itu mengatakan secara garis besar ada dua populasi dalam penelitian HIV. Pertama, populasi kunci. Kedua, populasi umum.
Populasi kunci adalah mereka yang memiliki potensi terpapar HIV lebih besar. Karena secara perilaku memang sudah berisiko, alias seksual aktif, seperti PSK. Namun, mereka yang berada dalam lingkaran populasi kunci justru lebih intens edukasinya. Sehingga pencegahannya juga lebih sadar, dengan memakai kondom misalnya.
Sementara pada populasi umum, mereka tidak sadar dengan resiko HIV. “Seperti ibu rumah tangga, ia tetap setia di rumah saja menunggu suaminya (ketika suaminya 'nakal'). Apa iya seorang istri mencurigai suaminya, kan tidak? Nah mereka itulah yang justru berisiko. Banyak kasus seperti itu,” paparnya.
Mbak Rizka mengaku pernah tergabung dalam bakti sosial yang sampelnya adalah IRT juga ODHA (orang dengan HIV AIDS). Saat itu diadakan tes HIV gratis. Ada seorang ibu hamil yang setelah dites hasilnya reaktif. “Setelah diinfo, dia tidak terima. Nggak mungkin ini, (hasilnya) salah-salah. Sampai nangis-nangis. Denial luar biasa,” Mbak Rizka nampak trenyuh dibuatnya.
Saat itu, Mbak Rizka dan tim tidak meminta beliau untuk percaya. Beliau diberi waktu sampai akhirnya tenang. “Setelah tenang dia cerita, suaminya lama nggak pulang, kerja merantau. Akhirnya suaminya di tes juga, dan ketahuan positif. Jadi si ibu ini bukan pelaku, namun korban dari suaminya,” kenang Mbak Rizka.
Berbagai pengalaman itulah yang membuat Mbak Rizka tergerak menelurkan program Gebrak Setia. Ditambah, ada masa dimana Mbak Rizka merasa spesialisasi yang ia geluti masih general. Ia sempat berkontemplasi, apa tujuannya? Ia berkeyakinan tidak mau keluar dari track kebidanan. Sampai suatu waktu, ia mantap menekuni bidang kesehatan reproduksi, dengan fokus pada perempuan juga remaja.
Gebrak Setia dikemas pada 2019, ketika Mbak Rizka mendapat hibah riset dari Dikti (Kemendikbud) sebagai dosen pemula. Tepat pertengahan September, Gebrak Setia non-digital diluncurkan di Kecamatan Mlati, Sleman. Bertempat di Balai Desa Sinduadi, kala itu, bab obat terlarang juga dijadikan materi edukasi karena dianggap bersinggungan.
Pada peluncuran program itu, kurang lebih 35 remaja mau melakukan tes HIV secara sukarela. Penelitian terus berlanjut hingga kurang lebih 12 bulan dan intervensi 6 minggu. Hasilnya sesuai ekspetasi tim Gebrak Setia. Mbak Rizka percaya jika inovasi sesuai kebutuhan masyarakat pasti akan tepat sasaran juga.
Juara II Putra Putri Solo 2011 itu menyatakan jika Gebrak Setia dicetuskan agar pemahaman juga awareness para remaja mengenai penyakit seksual itu meningkat. Ia juga bervisi meningkatkan cakupan tes HIV. Dengan begitu, harapan sehat kedepan lebih panjang.
Remaja di kelompok sekolah menengah atas dinilai sebagai representasi paling pas dari populasi umum. “Kenapa memilih remaja sebagai sampel? Karena mereka lebih dekat dengan populasi terbanyak HIV saat itu, 20 sampai 29 tahun. Kalau kasus baru muncul di usia-usia itu, berarti kan penyebarannya di usia sebelumnya. Terdekat di usia SMA, SMK. Mungkin juga ada SMP yang sudah berisiko, tapi kita coba dari populasi terdekat dulu,” jelasnya.
Penjelasan Mbak Rizka masuk akal. Bahkan hingga kini, saya kira dasar itu masih relevan. Kemenkes pada Hari AIDS Sedunia (HAS) 2022 menyoroti dominasi kasus HIV baru pada usia muda, sekitar 51%. Terlebih, dewasa ini pergaulan bebas semakin parah di kalangan remaja.
Setelah pengembangan awal, tim Gebrak Setia terus berekspansi. Empat SMA/SMK di Kota Jogja menjadi tempat edukasi dan skrining hingga akhir. Selain sekolah, tim Gebrak Setia juga menyasar karang taruna dan posyandu remaja.
“Lokasinya di empat kemantren (kecamatan). Tegalrejo, Gedong Tengen, Umbulharjo, sama Mantrijeron. Pemilihannya karena empat ini punya layanan HIV berkesinambungan. Dari edukasi, sampai, tidak hanya tes, tapi pengobatan juga. Jadi puskesmas ini sudah melayani layanan ART dan ARV,” ungkap Mbak Rizka.
Ia menerangkan jika sarana kesehatan di Kota Jogja kala itu, selain RSUP. Sardjito, hanya empat puskesmas itu yang lengkap. Tapi sekarang, sudah ada tambahan pukesmas lain yang juga memberikan layanan antiretroviral (ARV).
Sebuah situs kesehatan menuliskan, antiretroviral therapy (ART) berarti mengobati infeksi HIV dengan beberapa obat. Karena HIV adalah retrovirus, obat itu biasa disebut dengan obat ARV. Obat ini tidak membunuh virus, hanya berfungsi melambatkan pertumbuhan virus.
Virus yang menyerang dan menghancurkan sel darah putih berupa sel CD4 itu ditularkan melalui darah, asi, dan yang paling sering hubungan seksual tanpa pengaman. Hoax jika ada yang bilang penularannya melalui keringat, gigitan nyamuk, berbagi makanan, atau sentuhan. Mbak Rizka mengatakan seseorang mustahil tahu telah terinfeksi HIV tanpa diperiksa.
Jika populasi kunci setiap 3 bulan sekali diperiksa, berbeda dengan populasi umum. Bila muncul gejala seperti ada jamur di mulut, jamur di kelamin, keputihan yang bau, demam, biasanya baru periksa. Apalagi kalau memiliki gejala tuberkulosis, pasti tenaga kesehatan akan mengarahkan ke tes HIV. “Nah kadang ketahuannya sudah di tingkat komplikasi. Kan kasian. Terapinya jadi terlambat,” ucap Mbak Rizka.
Komplikasi yang dimaksud Mbak Rizka akan berbahaya jika sampai pada tahap AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome). AIDS adalah tahap akhir dari infeksi HIV. Seseorang bisa mengembangkan AIDS setelah bertahun-tahun terinfeksi HIV, bila tidak mendapatkan pengobatan yang tepat.
Saya mengangguk-angguk paham. Apa yang dikatakan Mbak Rizka mengingatkan saya pada sebuah artikel, bahwa sejak 2013 Menkes mencanangkan program pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak (PPIA). Tes HIV menjadi salah satu aksinya. Tes bersifat mandatori saat kunjungan antenatal care (ANC) pertama. Tes HIV gratis jika memiliki BPJS. Bahkan tanpa BPJS-pun hanya dikenakan biaya administrasi, kisaran 5 ribu sampai 20 ribu, tergantung puskesmas yang dituju.
Mbak Rizka juga berujar jika di Jogja ada LSM, VESTA Indonesia, yang melakukan tracking ke populasi kunci LSL (Laki-suka-laki). LSL lebih suka tes HIV ke LSM. “Karena tidak kelihatan tes, seperti nongkrong, sambil tes. Beda kalau di puskesmas kelihatan mencolok, dan ada tulisannya: KLINIK VCT,” begitu ungkapnya.
“Kadang, komunitas itu ada yang terjaring ke populasi umum. Seperti remaja ini berhubungan dengan si A. Awalnya yang dites kan si A. Kalau dia berisiko, akan ditanya: pasanganmu mana? Oh ternyata remaja B. Remaja B akan dites. Begitu seterusnya,” terang Mbak Rizka.
Ia mengiyakan saat saya menyimpulkan hal itu seperti Covid-19. Ketika satu terpapar siapa saja yang berinteraksi harus dites juga. Bedanya, pada kasus HIV lebih spesifik, yaitu siapa saja pasangan seksualnya.
Kasus demikian, karena secara tidak langsung merambat ke populasi umum, membuat proses tracking berjalan lama. Kebanyakan populasi umum lainnya jadi tidak ter-tracing. “Mungkin dia berisiko, mungkin bukan sesama gay, mungkin antar temannya atau pacarnya,” ucap Mbak Rizka.
Sekarang dengan pengembangan ekstrim.org, yang bisa diakses langsung tanpa download aplikasi, memungkinkan populasi umum untuk melakukan skrining mandiri. Mbak Rizka merasakan dengan adanya website ini, keterbukaan si remaja lebih terasa dibandingkan tatap muka. Skrining dirancang dengan mengisi form seperti kuesioner, yang mengindikasikan apakah si pengisi form berisiko.
Mbak Rizka mengatakan website ekstrim sendiri mulai dikembangkan pada 2021 dengan dana hibah dari UK Foreign, Commonwealth, and Development Office (FCDO). Kala itu, karena secara administrasi harus mengenakan nama organisasi, ia-pun menggandeng KPA DIY dan merekrut developer.
Belakangan, KPA DIY tidak aktif karena adanya peleburan dinas. Selanjutnya, mengingat program doktor yang Mbak Rizka jalani adalah beasiswa kedinasan, yang akan membawanya bekerja penuh sebagai dosen tetap di UNS, maka UNS didaftarkan sebagai pemegang hak cipta ekstrim tahun lalu.
Situs ekstrim pada mulanya dirancang bagi anak berkebutuhan khusus yang mengalami kekerasan seksual. “Dulu kami ingin mengedukasi pendamping anak disabilitas agar lebih sadar, bahwa anak-anak itu tidak safe di sekitar mereka. Ada kasus misal pamannya memperkosa. Dia tidak bisa melawan dan terjadi berulang kali. Pas diperiksa ketahuan positif,” ujar Mbak Rizka.
Namun kemudian Mbak Rizka sadar, web itu tidak hanya dibutuhkan oleh disabilitas, namun remaja yang tidak berkebutuhan khusus-pun membutuhkan juga. Akhirnya pada 2022 dan 2023 fokus ke pengembangan remaja. “Jadi sasarannya sama-sama remaja, tapi fokusnya yang beda. Dan akhirnya berjalan,” katanya tersenyum lebar, bangga.
Mbak Rizka menambahkan karena sudah berbasis website, siapa saja bisa mengakses Gebrak Setia generasi virtual itu. Tidak ada batasan segmentasi, sehingga bermanfaat bagi semua kalangan. Pun tanpa lekang ruang dan waktu.
“Website kami bersifat anonim untuk pengguna. Jadi kami tidak tanya nama, atau hal-hal privat. Paling hanya asalnya dari kota mana dan nomor kontak. Nomor kontak ini kami minta karena nanti untuk menginfokan hasil skrining.” Mbak Rizka menerangkan dengan gamblang. Ia juga menyatakan jika pengunjung web ekstrim belakangan ini tidak hanya dari Jogja dan Solo. Namun juga sukses merambah ke daerah lain, seperti Semarang.
Ketika kami asyik mengobrol, seorang perempuan mengenakan baju luaran merah muda, dipadukan dengan hijab mocca bermotif botanical mendekati kami. Saat langkahnya terhenti di samping meja, Mbak Rizka berkata, “Ini Nindi, PE yang base-nya di Solo.”
Saya lantas menjabat tangannya dan mengenalkan diri. Nindi Oktavia (24), salah satu peer educator (PE) Gebrak Setia itu diundang Mbak Rizka untuk gabung bersama kami.
Nindi dan Mbak Rizka memiliki background keilmuan dan kampus yang sama yaitu kebidanan, Universitas Sebelas Maret Surakarta (UNS). Bedanya, Mbak Rizka sudah menamatkan S3-nya per 25 Juli lalu, sementara Nindi lulus S1 saat new normal berlaku.
"Saya kenal Nindi di acara sharing alumni, saat covid. Kami juga satu komunitas di SEKOCI –Sekolah Komplementer Cinta Ibu. Dari situ kami dekat. Lalu kayak, ayo bikin kegiatan apa yuk!” ungkap Mbak Rizka. “Saat itu Gebrak sendiri sudah berjalan di Jogja. Jadilah kami perluas kegiatan itu di Solo juga,” sambung peraih IPK 3,97 itu.
Saya manggut-manggut mendengarnya. “Nindi kenapa mau jadi PE Gebrak Setia?” tanya saya kemudian sambil mengaduk pelan latte yang esnya sudah mulai mencair. Tatapan saya tertuju pada Nindi yang duduk persis di depan saya.
“Awalnya karena sudah ada project sama Bu Rizka. Selain itu, karena saya juga ingin melanjutkan studi, saya baca tesisnya Bu Rizka. Topiknya menarik perhatian saya. Nah, waktu Bu Rizka mau mengembangkan (Gebrak Setia di Solo), kebetulan ada project ekstrim sama Mbak Dea, jadi ya saya ikut,” ungkap perempuan yang mengaku suka bertemu dengan banyak orang itu.
Mbak Rizka kemudian menimpali kalau Dea yang dimaksud Nindi juga seorang PE, namun sekarang sudah PNS di RSPAD Gatot Subroto Jakarta.
Saya merasakan pancaran aura percaya diri yang kuat dari Nindi. Gaya bicaranya khas orator di depan siswa SMA, yang mengayomi sekaligus menebar energi positif. “Karena mencari partner riset yang sudah klik, itu juga susah. Jadi ketemu Nindi ini juga anugrah menurut saya,” lontar Mbak Rizka.
Kompak memakai baju pink, Nindi (kiri) dan Mbak Rizka (kanan) mengaku langganan tetap kafe ini (Dok. Pribadi) |
Doktor ke-1.072 UNS itu mengatakan konsep pengajar sebaya alias PE dipakai Gebrak Setia karena berkaitan erat dengan proses keterbukaan. Gap umur yang tidak terlampau jauh membuat anak SMA akan terasa nyaman jika berinteraksi dalam topik sensitif. Di awal kegiatan, ada 10 PE yang 'berkarya' bersama.
Tidak ada kriteria khusus untuk menjadi PE, yang utama memiliki ketertarikan pada isu HIV. "Nanti akan ada pelatihannya. Kalau sudah pernah ikut pelatihan dari puskesmas atau LSM juga lebih bagus”, kata Mbak Rizka. Ia menambahkan seorang PE juga harus mau terlibat aktif dan sukarela untuk program ini.
“Dulu trainer pelatihan PE dari PKBI (Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia) dan KPA Jogja,” lanjut doktor yang lulus dengan predikat cumlaude itu.
Nindi turut buka suara, “iya sebelum action langsung, kita di-training dulu kak. Jadi dibekali materi konsep dasar, pengenalan model ekstrim itu apa. Waktu penelitian ekstrim di Jogja, ada PE yang collab sama anak-anak Jogja juga ya Bu,” ujar Nindi sembari menoleh ke Mbak Rizka yang duduk di samping kirinya.
“Nindi kedepan masih mau jadi PE nggak?” tanya saya sesaat setelah pramusaji mengantar makanan kami. Sebelumnya dia mengatakan telah kembali berstatus mahasiswa, ia mengambil program master di Universitas Padjadjaran.
“Masih dong kak! Malah, setelah ini karena S2, mau ekspansi ke Bandung. Mau mengenalkan disana, agar cakupannya lebih luas lagi. Plus mau dikembangkan ke tesis juga,” ucap Nindi dengan nada energik.
Profil 8 PE, termasuk Nindi, tertampil di website ekstrim, dan dapat dipilih oleh pengunjung situs itu. Website yang kini sudah diakses 700-an pengunjung itu memiliki beberapa fitur, termasuk lokasi tes juga pengingat ART. Namun Mbak Rizka mengatakan untuk saat ini lebih ke skrining, edukasi, dan konseling. Di bagian kanan bawah website terdapat fitur chat whatsapp secara langsung.
“Mekanismenya ke admin dulu, sementara masih saya yang pegang. Kalau dibutuhkan konseling ke PE, nanti akan di sambungkan ke PE. Namun sebetulnya PE lebih berperan langsung di sekolah-sekolah. Jadi misal kita tanya dari SMA mana, kamu dengan Mbak PE ini ya, begitu,” cerita Mbak Rizka.
Selain melalui website, roadshow Gebrak Setia ke sekolah, karang taruna dan posyandu remaja juga masih digalakkan. Nindi mengaku pernah mengedukasi karang taruna juga kader remaja di kawasan Semanggi, Pasar Kliwon, Solo. “Waktu itu collab sama Puskesmas Sangkrah kak. Ada dari tenaga kesehatan, bidan, dan tetap diawasi sama KPA Surakarta,” ujar perempuan asli Karanganyar itu.
Gebrak Setia roadshow ke posyandu remaja untuk mengenalkan web ekstrim bersama KPA Surakarta (Dok. s3kesehatanmasyarakat.fk.uns.ac.id) |
KPA Surakarta disebut Mbak Rizka sebagai instansi paling berpengaruh dalam ekspansi Gebrak Setia di kota batik itu. Bahkan, pihak KPA telah membentuk Kelompok Siswa Peduli AIDS dan Narkoba (KSPAN), yang terdiri dari siswa perwakilan sepuluh SMA/SMK di Solo. KSPAN diharapkan dapat menyebarkan informasi ke teman sekolahnya.
Senada dengan konsep PE, Mbak Rizka dan Nindi berharap KSPAN bisa menjadi kader baru Gebrak Setia di Solo. Tim ekstrim telah memberikan training tentang bagaimana mekanisme, pengolahan media, juga model ekstrim pada KSPAN.
Nindi mengatakan bahwa di awal Agustus lalu, Bu Yanti (KPA) mengabarkan jika KSPAN sudah mulai mengedukasi teman-temannya di sekolah. “Jadi ikut seneng dengarnya. Karena saat masa training, mereka masih ada yang malu-malu. Kan mereka harus punya keberanian, pede. Mau tidak mau harus jadi contoh juga kan!” kata Nindi. Saya bisa mendengar nada optimis dari kalimatnya.
Sementara Mbak Rizka merespon pesan di ponselnya, Nindi menambahkan, “kalau mereka kesulitan atau ragu, diarahkan buat baca-baca di web sih kak. Di sana ada materi yang tidak monoton teks, tapi juga video. Jadi bisa menyesuaikan gayanya masing-masing. Bisa kontak lewat helpdesk juga.”
KPA Surakarta pada 4 Juli lalu juga menggandeng Gebrak Setia untuk sosialisasi ke seluruh kepala sekolah SMA/SMK di Solo. “Kepala sekolahnya pada excited banget kak. Ada yang tanya, gimana caranya join? Biar ada perwakilan sekolah kami yang ikut program ini,” kata Nindi menirukan bicara seorang kepala sekolah.
Nindi berujar jika para guru dan kepala sekolah juga menyadari tingkat penyebaran HIV AIDS saat ini cukup tinggi. Sebagai aktor di dunia pendidikan mereka ingin ikut berkontribusi, dengan menjadikan anak didiknya sebagai bagian dari KSPAN.
Terlepas dari perkembangannya kini, perjalanan Gebrak Setia tidak selalu mulus. Mbak Rizka mengaku menemui sejumlah tantangan. Tantangan paling kental dan ketara adalah tingginya stigma terhadap HIV AIDS.
Banyak publikasi yang menunjukkan bahwa stigma mempengaruhi pemahaman masyarakat pada edukasi seksual. Terlebih, pandangan negatif itu sering kali membuat seseorang malu untuk melakukan tes HIV, dan enggan berobat jika sudah terjangkit. Kalau sudah begitu, pupuslah harapan mereka, terutama si korban.
Penelitian Mbak Rizka menyimpulkan hal yang sama. “Kan saya bikin model edukasi ya. Jadi kalau ingin meningkatkan pemahaman (tentang HIV AIDS), maka turunkan stigmanya dulu. Karena itu paling berpengaruh. Stigmanya menakutkan,” tutur Mbak Rizka yang telah meniupkan nyawa Gebrak Setia ke disertasinya.
Nindipun menceritakan pengalamannya mendapat stigma saat melakukan tes HIV di puskesmas. "Ditanya-tanya, ngapain tes HIV? Belum bekeluarga kok tes HIV?" curhatnya. Petugas puskesmas mengira ia berisiko, padahal ia hanya ingin tahu bagaimana tes HIV berlangsung. “Iya itu, terlebih jika remaja. Dek, ngapain kok tes HIV?” kata Mbak Rizka menimpali kondisi itu.
Mbak Rizka bahkan mengatakan ada pihak pemerintah yang memberikan stigma. Kala itu pemerintah belum memahami pentingnya penelitian dengan isu HIV. “Setelah saya buka datanya, mereka baru terbelalak, wah ternyata banyak ya,” ujarnya menirukan mereka yang memberikan pandangan negatif akan isu itu.
Dikatakan Mbak Rizka, bahkan Dinas Pendidikan Provinsi DIY awalnya menengarai Gebrak Setia sebagai kegiatan tabu. Ada kekhawatiran para siswa salah menangkap edukasi yang akan diberikan dan memicu rasa ingin tahu.
Mbak Rizka berujar, “pas minta ijin sosialisasi ke dinas, kuesioner dicek. Awalnya saya pakai kuesioner standar Kemenkes. Sudah baku. Tapi karena bahasa dianggap terlalu vulgar, seperti kondom. Takutnya anak-anak penasaran dan justru beranggapan, gapapa nih hubungan seksual pokoknya pakai kondom.”
Ia melanjutkan, “sebetulnya, dari hati yang paling dalam mereka ngeh juga dengan isu ini. Tapi mau bawa isu ini kemana, takutnya jadi bumerang bagi pemerintah. Jadi ya masih dianggap tabu.”
Untungnya, ada pegawai penjamin mutu dinas yang juga concern di bidang HIV. Mereka banyak memberikan masukan. Bahkan mengusulkan untuk membuat buku setelah program selesai. Mereka tertarik menjadikan itu sebagai bagian kegiatan belajar mengajar, tidak hanya edukasi musiman seperti saat MPLS atau seminar.
Mbak Rizka menandai stigma sebagai tantangan utama yang harus ditembus agar Gebrak Setia berjalan. Orang-orang yang dianggap akan memberikan bala bantuan, justru memberikan stigma dari awal. Akhirnya tim Gebrak Setia harus meyakinkan mereka dulu. Diskusi terfokus (FGD) pun dilakukan untuk mencermati alat ukurnya. Mereka mengevaluasi kembali apakah intervensi "A" misalnya, tepat atau tidak untuk remaja.
Tantangan kedua adalah orang tua yang kontra. “Karena pasti ortu ada yang merasa ngapain, anakku nggak butuh kok, anakku nggak gini kok. Denial. Atau mungkin dia tahu tapi menutupi, itu juga terjadi,” ujar Mbak Rizka. Penolakan orang tua ini bisa jadi buntut dari stigma masyarakat pada bahasan HIV AIDS.
Tantangan selanjutnya, datang dari remaja itu sendiri. Mbak Rizka dan Nindi saling menimpali ketika menceritakan dua remaja yang kekeh tidak mau ikut edukasi HIV. Mereka menolak saat diminta mengisi form persetujuan sosialisasi. “Bukan tes, baru mau edukasi. Mereka tidak mau. Sampai melibatkan guru BK juga. Akhirnya dibujuk, mau,” kata Mbak Rizka.
Mbak Rizka juga menuturkan karena perkembangan teknologi semakin pesat, orang tua seharusnya bisa memanfaatkannya. Apalagi ketika hasil skrining anak berisiko. Kalau orang tua tidak memberikan consent, tim Gebrak Setia juga tidak bisa intervensi ke remaja. "Guru juga sih, karena sekolah kan melibatkan guru, ortu dan siswa remaja. Belum lagi setelah tracing harus melibatkan siapa, kemana (puskesmas, KPA, LSM, atau lainnya)," kata Mbak Rizka.
Ia menegaskan, “pencegahan HIV itu tidak hanya tanggung jawab satu instansi, misal dinas kesehatan tok. Nggak iso mbak!” Mbak Rizka berkata penuh penekanan. Ia melanjutkan, jika tidak melibatkan LSM, pemerintah tidak bisa menjangkau akar rumput. “Akademisipun juga tadi saya bilang, kalau mau meneliti HIV tanpa ke lapangan itu nggak bisa,” tandasnya lebih lanjut.
Suara musik cadas dari sepiker kafe cukup keras. Kami terdiam sejenak. “Untuk selanjutnya, apa visi Gebrak Setia mbak?” tanya saya kemudian setelah lagu mencapai outro yang memelan.
“Ada dua visi mbak,” ujar Mbak Rizka memastikan Gebrak Setia tetap akan berlanjut. Hal pertama yang ingin dicapai adalah menyelesaikan rencana awal untuk scale up. Di Kota Jogja, Mbak Rizka ingin merambah ke wilayah lain, tidak hanya pada lokasi yang selama ini sudah diintervensi. Kemudian di Solo karena sudah diinisiasi oleh KPA Surakarta, Mbak Rizka juga menargetkan edukasi dan skrining ke sekolah langsung. Tidak berhenti di perwakilan KSPAN saja.
Namun menurut Mbak Rizka, rencana scale up ini perlu dipikirkan masak-masak. Kendalanya, ketika Gebrak Setia akan diperluas ke daerah yang tidak memiliki akses internet yang baik. Atau mungkin di situasi bencana dimana internet tidak bisa diakses. "Itu yang akan dipikirkan agar lebih berkelanjutan, teknologi offline-nya," ujar Mbak Rizka yang menganggap kesiapan teknologi masyarakat penting karena telah berbasis digital.
Kedua untuk website. Karena sudah world wide web mode, maka tamu ekstrim.org tidak hanya orang Indonesia. Peningkatan fitur bahasa asing akan ditambah agar cakupannya lebih luas. Selain itu, bisa dipakai branding ke mitra luar negeri untuk kerjasama.
“Biar semua merasakan manfaatnya,” pungkasnya sembari tersenyum.
Tak terasa, azan zuhur menyuar dari berbagai arah. Kami mulai menyentuh makanan kami yang hampir dingin. Setelahnya, sisa suara sendok garpu beradu dengan piring. Kami tenggelam dalam pikiran kami masing-masing.
Saya sendiri merasa ada ratusan benang informasi di kepala saya yang siap dipintal menjadi untaian paragraf berkualitas. Hari itu, dari tengah Kota Solo, saya mendapat pesan berharga: Gebrak Setia —akronim dari Gerakan Bersama Kader Satgas Remaja Tanggap HIV/AIDS, tak hanya berusaha menembus stigma, tapi juga menumbuhkan harapan hidup para remaja ke depannya.
Comments
Post a Comment
Terimakasih sudah komentar. Komentar akan muncul setelah proses moderasi. :)