Kondisi Tumpukan Sampah TPA Benowo, Surabaya Sumber foto: Andy Satria/Radar Surabaya |
Bicara sampah, saya selalu ingat novel Aroma Karsa karya Dee Lestari. Bayangan akan gunungan sampah di TPA dengan berbagai macam bau menyengat hadir saat membaca novel itu. Pada satu bagian, saya bahkan ingin ikut muntah saat membayangkan bau menusuk dari kol busuk. Dan menarik napas lega saat Dee menuliskan bau manis sekaligus segar dari kulit mangga. Sampah hingga kini masih menjadi fokus utama dalam penataan kota, sehingga memerlukan kesungguhan dalam pengelolaannya.
Pengelolaan sampah, sebuah tantangan mengendalikan hasil produksi ‘barang’ yang tak diharapkan, namun sayangnya lekat dengan kehidupan. Produksi ‘barang’ ini bagi sebagian besar masyarakat dianggap tidak memiliki added value dan sebaliknya menimbulkan banyak macam persoalan seperti bau busuk, sarang berbagai penyakit, dan mencemari pandangan. π₯Pada kondisi eksisting, praktik pengelolaan sampah menemui kendala yang tak sedikit, salah satunya kesadaran. Baik kesadaran masyarakat maupun kesadaran pemerintah.
Layaknya perdebatan ayam dan telur, pengelolaan sampah menimbulkan perdebatan panjang, siapakah yang akan memulai lebih dulu. Atau menyisakan tanya, siapa yang bertanggung jawab untuk mengelola? Pemerintah-kah? Atau masyarakat? Pada sisi masyarakat, ada yang bilang, “ya itu urusan pemerintah kan sudah bayar pajak!” Senada, pada sisi pemerintah hanya mengandalkan business as usual, “yang penting kita mengalokasikan anggaran pengelolaan sampah setiap tahun.”
Padahal, tidak! Tidak demikian. Pengelolaan sampah harus dilakukan bersama-sama, bersinergi antar para stakeholder karena proses satu dan lainnya berkaitan. Namun tentu saja, sudah ada porsi masing-masing dalam partisipasinya mengelola sampah. Walau demikian, dalam hal ini pemerintah memiliki tanggung jawab paling krusial dari setiap proses pengelolaan sampah. Pemerintahlah yang memegang kunci utama keberhasilan pengelolaan sampah pada suatu daerah.
Sampah menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah daerah. Saya ingat saat menjadi tenaga ahli pengesahan Rencana Detail Tata Ruang Kota (RDTR) sebuah kabupaten baru, pemerintah daerah kebingungan saat diminta menentukan letak TPS dan TPA yang sama sekali belum mereka miliki. Di lain waktu, saat menyusun dokumen teknis Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), pemerintah daerah tak bisa memberikan keputusan lahan mana yang akan digunakan sebagai TPA, padahal pemerintah provinsi melalui PERDA RTRW Provinsi telah mengamanatkan pembangunan TPA Regional di daerah tersebut. Percaya tidak, persoalan semacam ini menjadi PR hampir di seluruh kabupaten/kota di Indonesia?
Tak berhenti di soal TPS dan TPA, ada segudang masalah yang ditimbulkan dari sampah dan menjadi kewajiban pemerintah sebagai decision maker untuk mengatasinya. Apa saja?
- Timbunan sampah terus meningkat seiring dengan peningkatan jumlah penduduk
- Anggaran yang dibutuhkan untuk pengelolaan sampah cukup besar
- Banyak masalah turunan yang diprakarsai oleh sampah, seperti saluran tersumbat sampah dan dapat menyebabkan banjir, kebersihan sungai terancam, laut tercemar, masalah kesehatan, pencemaran air bersih, keseimbangan lingkungan terganggu, dll
- Kesadaran masyarakat yang masih rendah untuk mengelola sampahnya sendiri
Kita sadar, masalah yang begitu kompleks dapat diciptakan dari ‘barang’ bernama sampah. Ada jutaan kubik sampah yang menjadi beban suatu daerah. Dari berbagai jenis sampah, sampah yang setiap hari pasti “diproduksi” adalah sampah domestik rumah tangga. Di Kota Surabaya misalnya, sampah rumah tangga menduduki peringkat atas dibandingkan sumber sampah lainnya dan lebih dari setengahnya adalah sampah organik.
Tak beda jauh dengan Surabaya, saya rasa mayoritas sampah di daerah lain juga sampah yang berasal dari rumah tangga, dengan komposisi tertinggi adalah sampah organik. Mari kita lihat Jakarta. Karena saya tidak punya sumber resmi IKPLHD Jakarta, coba tilik infografis yang dibuat oleh House Infographics berikut ini.
Catatan: infografis ini disunting pada bagian data saja, selengkapnya silahkan akses di sini. |
Kita bisa lihat bahwa Kota Jakarta dengan beragam kegiatan dan aktivitasnya, termasuk industri dan perdagangan pun demikian, sampah organik lebih banyak dibandingkan jenis lainnya. Karena tidak bisa dipungkiri bahwa jumlah penduduk berbanding lurus dengan jumlah timbunan sampah. Semakin banyak penduduk maka sampah yang dihasilkan juga semakin menggunung. Maka pemerintah perlu aktif menekan sampah yang bersumber dari rumah tangga, terutama sampah organik.
Bagaimana caranya? Ada banyak cara.
Salah satunya dengan daur ulang, memanfaatkan barang yang bisa digunakan kembali. Tahu tak, sisa-sisa sayur yang biasa dimasak bisa didaur ulang lho! Saya sendiri telah membuktikannya. Yaitu dengan menanam akar daun bawang dan akar daun seledri. Memang, beberapa jenis sayuran bisa kita tanam kembali. Buka saja tutorialnya di YouTube. Berbekal ilmu dari YouTube, saya coba menanamnya dengan pot daur ulang pula.
Kadang, tetangga atau sanak famili mengirimkan nasi dengan bakul berbahan plastik. Bakul itu setelah dipakai empat/lima kali biasanya sudah rusak. Maka bakul itulah yang saya jadikan pot. Hasilnya? Baru beberapa hari tanam sudah subur.ππ In my honest opinion, pemerintah bisa menyosialisasikan hal-hal semacam ini. Agar sampah organik dari dapur lebih ‘sedikit’ bisa terkendali.
Cara yang kedua adalah memilah sampah. Sebenarnya cara ini cukup banyak dilakukan oleh masyarakat. Sayang belum ada arahan dan mekanisme yang jelas. Sehingga menimbulkan kesalahpahaman dan akhirnya mengendurkan semangat memilah sampah. Misal, masyarakat telah melakukan pemilahan sampah organik dan non organik. Namun sampah yang sudah dipilah itu, saat diambil oleh tukang sampah dituang pada satu bak angkut yang sama alias dicampur kembali.
Dalam suatu kesempatan, saya pernah melihat dokumenter tentang sampah di salah satu stasiun TV swasta. Dalam dokumenter itu, seorang wanita mengatakan bahwa pengangkutan sampah menjadi kunci yang penting. Karena menurut pengalamannya, para ibu rumah tangga sudah memisahkan sampah, namun saat diambil oleh tukang angkut sampah, sampah yang sudah dipisahkan dimasukkan pada bak yang sama. Jadi usaha pilah sampah digagalkan saat itu juga. Kondisi itu membuat semangat pilah sampah memudar. Akhirnya para ibu males pilah sampah lagi, dong!
Nah disinilah pentingnya intervensi pemerintah. Perlu kesadaran bahwa petugas angkut sampah dari rumah ke rumah memiliki peran penting, sebagai garda terdepan dalam siklus kelola sampah. Untuk itu pemerintah bertanggung jawab membuat mekanisme teknis dan arahannya.
Apabila daur ulang dan pemilahan sampah berjalan di kawasan masing-masing (lingkup RT, RW, Kelurahan/Desa) bukan tidak mungkin sampah rumah tangga berkurang dan tak perlu menjadi beban TPA.
Saya yakin, saat mendengar kata daur ulang dan pemilahan sampah, ada saja nada sumbang, “apa iya cara itu bisa dilakukan?” Tenang. Keraguan memang bisa saja muncul. Untuk menjawabnya, kita perlu bukti nyata. Tentang program pemilahan sampah, di Indonesia ada contoh gemilang yang sudah berjalan. Adalah Zero Waste City, sebuah program yang ide utamanya adalah mengelola sampah di lingkup kawasan dengan memilah sampah rumah tangga. Main goals ZWC, begitu sebutan khasnya, adalah mengurangi tumpukan sampah di TPA.
Program Zero Waste Cities dijalankan oleh teman-teman dari YPBB (Yaksa Pelestari Bumi Berkelanjutan) yang didukung oleh USAID. Saat ini telah dilaksanakan pada 2 kota dan 3 kabupaten di Jawa Barat. Kota/kabupaten yang dimaksud meliputi Kota Bandung, Kota Cimahi, Kabupaten Bandung, Kabupaten Karawang dan Kabupaten Purwakarta. Dari seluruh kawasan, kini telah ada 2 kelurahan model yang tidak hanya didukung teknisnya, namun juga di-support sebagian pendanaannya, yaitu Kelurahan Sukamiskin dan Kelurahan Cihaurgeulis.
Program ZWC sendiri tidak hanya didampingi oleh YPBB, melainkan juga telah berkolaborasi dengan stakeholder lain di luar Jawa Barat. Di Kota Denpasar yang didampingi oleh PPLH Bali dan Kabupaten Gresik yang didampingi oleh Ecoton. Baik YPBB, PPLH Bali juga Ecoton sama-sama mendampingi masyarakat dalam menjalankan kegiatan pengelolaan sampah dari kawasan. Penasaran bagaimana proses yang dilakukan tim YPBB? Silakan simak video dari tim ZWC berikut.
Jika kita perhatikan, prosesnya sangat sederhana bukan? Namun saya yakin, praktiknya tidak sesederhana itu. Ada berbagai macam kendala yang dihadapi saat terjun langsung ke masyarakat, seperti susahnya berkoordinasi dengan petugas pengangkut sampah. Beberapa petugas angkut sampah awalnya menilai bahwa mereka perlu bekerja extra dengan memisahkan bak sampahnya, plus gaji mereka dinilai tidak sesuai untuk protokol pilah sampah ZWC ini.
Menemui kendala-kendala di lapangan tidak menyurutkan tim YPBB untuk terus mendorong program pilah sampah dari kawasan ini. Beberapa model pendekatan dilakukan, misal melalui Pak RW, masyarakat yang vokal di lingkungannya juga dengan cara lainnya. Dan terbukti berhasil di beberapa kawasan.
Minggu lalu, dalam Talkshow Zero Waste Cities bertajuk "Cegah Tragedi Leuwigajah Terulang", perwakilan dari YPBB, Teh Anilawati Nurwakhidin menyampaikan pentingnya kerjasama dengan pemerintah dalam proses pilah sampah dari kawasan ini. Karena dengan adanya arahan dari pemerintah, proses menggerakkan masyarakat sebagai pelaku utama akan jauh lebih mudah. Pemerintah daerah harus terbuka dengan hal semacam ini.
"Kalau mau naik motor tentu pakai helm, bukan karena sadar takut kecelakaan, tapi takut ditangkap polisi," begitu Teh Anil mengibaratkan. Sama dengan program pilah sampah ini, kalau aturan sudah mengikat, maka mau tidak mau masyarakat melakukannya, bukan?
Kalau beberapa kota/kabupaten sudah melakukannya, tentu ada kemungkinan program ZWC ini dapat dijalankan pula oleh kota/kabupaten lain di Indonesia. Pertanyaannya, mau atau tidak? Itu saja.
Baik, tak perlu dijawab dulu. Untuk memberi gambaran, video dari Kota Bandung berikut bisa menjadi referensi dalam mengelola sampah, terutama dari kawasan, sambil berfikir ulang apakah program pilah sampah ini worth it dilakukan.
Sebagai urban planner, saya berpendapat bahwa bila dilakukan, pilah sampah dari kawasan ini akan berdampak positif pada daerah, seperti:
- Sampah yang dibawa ke TPA berkurang. Dan kalau boleh bermimpi, setelah sampah bisa berkurang, kebutuhan perluasan lahan TPA juga bisa ditekan. Sekarang, siapa sih yang mau di sekitar lokasi rumahnya ada TPA? Selain itu, pemerintah tentu tak ingin peristiwa meledaknya TPA Leuwigajah terjadi di daerahnya.
- Kebersihan kota meningkat. Saya akan menambahkan konteks begini, Kota Surabaya pernah melakukan inspeksi gorong-gorong untuk mengatasi banjir. Di beberapa sudut kota, drainase kota menjadi sarang sisa makanan seperti bakso, soto, rawon, dll. Oknum penjaja makanan ada yang membuang sisa-sisa makanan pelanggan di lubang drainase sekitar lapak mereka. Alhasil, lemak makanan itu lama mengendap dan menjadi kristal besar, sehingga menyumbat air dan menyebabkan genangan. Jika mengadaptasi konsep ZWC, setidaknya beberapa masalah kota sekaligus bisa dikendalikan.
- Kebijakan sistem persampahan, baik di RTRW, RDTR maupun rencana sektoral pengelolaan sampah bukan hanya sekedar blue print atau di atas kertas saja, namun benar dijalankan dan bermanfaat bagi kota/kabupaten secara umum.
- Menghemat anggaran pengelolaan sampah. Dari berbagai sumber, saya coba mencari berapa anggaran yang dikeluarkan Pemerintah DKI Jakarta untuk mengelola sampah. Dari katadata.com, anggaran pengelolaan sampah DKI Jakarta 2019 sebesar Rp 3,7 triliun. Ah itu kan Jakarta. Baik, mungkin Jakarta tidak bisa dibandingkan dengan kota/kabupaten lain. Bagaimana kalau tempat saya tinggal, Kota Surabaya? Dari kompas.com, anggaran yang dikeluarkan Kota Surabaya untuk mengelola sampah pada tahun yang sama adalah 160 Miliar. Bukan angka yang sedikit! Kalau mengelola sampah di tingkat kawasan bisa mampu mengurangi beban anggaran, why not?
Untuk dapat mewujudkan poin-poin positif diatas, maka pemerintah perlu menumbuhkan partisipasi masyarakat, juga pihak-pihak yang terlibat seperti pejabat tingkat kawasan (RT, RW) bahkan tukang sampah, dengan aturan yang lebih mengikat. Secara rinci, beberapa hal yang bisa dilakukan pemerintah, mencakup:
π Buat kajian teknisnya, baik itu mekanisme dan teknis pelaksanaannya, anggarannya, penyediaan sarana prasarananya, porsi tugas masing-masing pelakunya secara spesifik baik dari tingkat makro (daerah) hingga tingkat mikro (rumah tangga).
π Buat kebijakannya. Seperti yang tadi sudah disinggung diatas, kebijakan ini penting untuk lebih dapat mengikat. Sebagai contoh, Kota Bandung dan Kota Cimahi sudah membuat aturan tentang Pengelolaan sampah yang telah disahkan melalui peraturan daerah (akses disini untuk Kota Bandung dan disini untuk Kota Cimahi).
π Mengatur intensif dan disintensif. Misal memberikan intensif pada para tukang sampah.
πLakukan monitoring evaluasi tahunan. Bisa dengan dikemas dalam lomba antar kawasan (misal kelurahan), seperti Surabaya yang beberapa tahun terakhir menerapkan program Lomba Green and Clean untuk mendorong kebersihan kota.
Kita sama-sama tahu, bahwa ini tidak mudah. Kita tahu bahwa kegiatan berbasis partisipasi masyarakat tidak dapat serta-merta copy-paste begitu saja. Karena sebagai decision maker, kita paham karakteristik kawasan satu dengan kawasan lain berbeda. Pun kota ini dan kota itu tidaklah sama. Namun pemerintah harus bersiap dengan segala kemungkinan dan bergerak pada solusi-solusi yang bisa ditawarkan. Bongkar pasang kegiatan dapat dilakukan, ambil-tiru-modifikasi (ATM) kegiatan juga bisa menjadi awalan. Asalkan tidak melanggar undang-undang. Karena, kalau tidak dimulai sekarang, kapan lagi?
Comments
Post a Comment
Terimakasih sudah komentar. Komentar akan muncul setelah proses moderasi. :)