Di
bangku sekolah, kita pernah mengenal istilah barter. Merujuk KBBI, barter berarti
“perdagangan dengan saling bertukar barang”. Pada zamannya, bertukar barang menjadi
alat pembayaran yang sah. Seiring berjalannya waktu, sistem barter itu tergerus
masa. Digantikan koin dan lembaran khusus bernama uang. Perkembangan dunia
ekonomi tanpa sadar memang berkembang sangat pesat, dan dibalik itu, teknologi
informasi menjadi salah satu faktor utama penyebabnya. Dengan berkembangnya
teknologi, sektor ekonomi tak pelak juga mengalami perkembangan.
Kini,
di era industry 4.0, digital economy menjadi revolusi yang
begitu melekat di kalangan milenial. Tak hanya di Indonesia, ekonomi digital
kini menjadi hal yang diperhitungkan hampir seluruh negara di dunia. Baik dalam
kerangka kebijakan, maupun keseharian.
Tentang Ekonomi Digital
Seperti
lagu Ed Sheeran, and everything has changed, the world
has changed too. Dalam sebuah publikasi yang dilansir oleh World Bank
Group, kita akan disadarkan betapa dunia memang berganti tatanan. Satu dekade
lalu, bila kita bicara bisnis akomodasi maka hotel adalah investasi alias modal utama, itu wajar. Bila kita
bicara bisnis taksi pasti perlu modal berupa armada. Tapi kini tidak. Dunia
berubah. Ada hal-hal yang tak lagi diperlukan. Dunia kini bergantung penuh pada
teknologi. Begitu pula dalam hal bisnis ekonomi. Istilah kerennya, digital disruption.
Secara
harfiah, digital disruption didefinisikan
sabagai perubahan pola hidup dan bisnis karena teknologi digital. Saat Alibaba,
sang raja ritel tak punya inventor. Saat Facebook, punya media tapi tak perlu
membuat konten. Ketika AirBNB, penyedia akomodasi dengan jaringan luas di
dunia, namun tak punya properti akomodasi, dan sebagainya.
Di
Indonesia, nyata terlihat di depan kita adalah GOJEK dan GRAB. Keduanya
bergerak di bidang transportasi berbasis aplikasi, dan tidak punya armada.
Seperti halnya UBER. Namun UBER kini sudah tak lagi beroperasi di Indonesia.
GOJEK dan GRAB menjadi dua usaha digital sukses
yang bisa kita saksikan dalam keseharian.
Bisnis menggunakan teknologi alias
digital ini semakin hari semakin bertambah. Dan di masa depan akan semakin
bertambah. Ekonomi digital pertama kali disebut dalam buku The Digital Economy: Promise and Peril in the Age of Networked
Intelligence oleh Don Tapscott. Ekonomi digital dinilai lebih “cerdas”
dalam kaitannya dengan fungsi digital, dan lebih terkoneksi dalam kaitannya
dengan financial service, commerce,
dan lainnya.
Untuk
mengimbangi perubahan bisnis yang terjadi, kebijakan juga bertransformasi.
Berbagai sektor diolah untuk dirumuskan menjadi kebijakan yang tepat guna.
Bahkan, Pemerintah kini memiliki visi besar dalam sektor ekonomi digital. Yaitu
target Indonesia dapat menjadi kekuatan ekonomi digital terbesar di ASEAN. Tak
main-main, nilai transaksi e-commerce
diproyeksikan akan mencapai 130 juta Dollar AS pada tahun 2020 nanti. Untuk
mewujudkannya, Pemerintah terus bergerak.
Dalam acara Bali
Fintech Agenda, salah satu event
rangkaian Pertemuan Tahunan IMF-Bank Dunia 2018 lalu, Pemerintah menyampaikan
bahwa pengembangan ekonomi digital membutuhkan kebijakan yang akomodatif.
Kebijakan secara light touch (tidak terlalu mengekang) dan safe harbour. Safe harbour dalam artian tanggung
jawab terpisah antara penyedia situs jual beli daring berkonsep marketplace dengan
penjual yang memakai jasa mereka. #Ecodigi
Apa Elemen Ekonomi Digital? #EcoDigi
Berdasarkan
paparan BI Institute dalam Rakernis Nasional I Tahun 2018 Juli lalu, terdapat
10 elemen ekonomi digital yang berkaitan satu dengan lainnya. Dari kesepuluh
elemen tersebut, salah satunya adalah fintech,
e-commerce dan smart money. Lihat
gambar berikut untuk lebih jelasnya.
Fintech,
e-commerce
dan smart money ini cukup dekat
dengan hidup milenial. Bagaimana tidak, untuk membeli ini dan itu, milenial
hanya perlu membuka gadgetnya. Klik ini dan itu, lalu selesai. Barang akan
dikirim oleh kurir. Dalam keseharian untuk pergi kesana kemari, milenial
menggunakan online cab dan membayar
menggunakan smart money alias cashless. Hal-hal yang mungkin tidak
banyak disadari bahwa perilaku itu adalah perilaku #ecodigi.
Terapan #EcoDigi di Kalangan Milenial
Peralihan
cash ke cashless menjadi salah satu tolok ukur bagaimana digital economy menjadi faktor yang
diperhitungkan dalam transaksi ekonomi. Dan kini, di Indonesia ada dua kategori
pembayaran non tunai. Pertama AMPK, akronim dari Alat Pembayaran Menggunakan
Kartu berupa kartu ATM atau kartu kredit. Kedua, uang elektronik.
Untuk
memahami APMK dan uang elektronik, lihat infografis berikut ini.
Dalam
keseharian, penggunaan baik kartu debit, kredit, juga uang elektronik sudah
menjadi life style. Terlebih dengan
banyaknya kemudahan-kemudahan juga potongan harga yang diberikan untuk
menggunakan fitur-fitur dari penyedia layanan. Misal potongan harga 30%
diberikan saat seseorang membayar makanan dengan kartu debit BNI di sebuah
restoran. Potongan harga 500 ribu diberikan saat seseorang membayar barang
elektronik dengan menggunakan kartu kredit BCA. Potongan 50% dengan menggunakan
uang elektronik Go-Pay, Tcash, OVO dan uang elektronik lainnya. Hal demikian
sangat mudah kita jumpai saat ini.
Let Face It!
Well,
pemerintah sudah melakukan perannya. Misal, BEKRAF sudah meluncurkan aplikasi
BISMA guna mendata perkembangan industri kreatif yang dalam usahanya tak lepas
dari seluk beluk digital. Industri kreatif ini berhubungan dengan #ecodigi.
Begitu pula dengan swasta. Swasta sudah berpacu melancarkan gerakan melalui
ekonomi digital. Seperti dengan menciptakan aura bisnis berdasarkan ekonomi
digital, misal dengan pembayaran non tunai. Kampanye pemindahan cash into cashless dengan memberikan
diskon atau promo menarik.
Lantas
bagaimana dengan milenial seperti kita?
Sejatinya milenial sangat terbuka
dengan iklim ekonomi digital yang ada di Indonesia. Bisa kita lihat, kini
banyak anak muda yang lebih mengandalkan e-commerce
dalam membeli keperluan harian. E-commerce
di Indonesia juga sangat beragam dengan pangsa pasar yang berbeda-beda. Lalu, milenial
juga banyak yang mulai mengandalkan cashless
dengan aplikasi untuk transaksi. Kemudahan menggunakan uang elektronik, seperti
GO-PAY juga TCASH dan aplikasi lain yang menawarkan uang elektronik sangat
diminati para milenial.
Ekonomi
Digital itu Kita Banget. Seperti demokrasi, it’s
from us, by us and for us. Maka peran kita untuk ikut “bermain” dalam
bidang ekonomi digital ini sangat ditunggu. Bukan hanya pengguna, mari kita
ikut menyelami dunia bisnis digital. Let’s
face it guys!
Bener juga ya mba, sekarang apa-apa serba digital, orang2 yang gamau mengikuti zaman ya bakal tenggelam sendiri :)
ReplyDeleteKalau saya mendukung banget, jadi lebih praktis :)
Betul mba Rey, ekonomi digital ini lebih praktis. :)
DeleteBuatku ibu rumah tangga yg kerja dr rumah yg notabene juga generasi milenial, adanya ekonomi digital ini memudahkan bangett mbaa
ReplyDeleteMenghemat waktu salah satuny
waaah poin ini bener banget mba, hemat waktu..
Deletesebelumnya aq males nyoba-nyoba aplikasi payment, tapi karena promosi semakin gencar, akhirnya nyobain bikin akun. Ternyata seru asyik juga akhirnya sekarang nyaman menggunakan aplikasi cashless
ReplyDeletesama nih, aku jg pertama pakai aplikasi cashless karena ada promo2 menarik yg sliweran di iklan. hehhee
DeleteJadi penasaran ingin gunain aplikasi cashless. Coba kulihat-lihat dulu fiturnya.
ReplyDeleteTerimakasih infonya,kak.
Yuhuuu, silakan.. :)
Delete