Eksistensi Surabaya sebagai kota pahlawan memang tak pernah lepas dari sejarah yang panjang. Sebagai kota yang telah berkembang sebelum era merdeka, Surabaya menyimpan sosial budaya yang beragam dan kompleks. Tak hanya bukti perebutan kemerdekaan, salah satu bukti perkembangan ekonomi dari era ke era hingga kini masih kokoh berdiri. Namun, dikemas dengan kegiatan yang berbeda.
Saya ingat, saya mulai pindah ke kota ini saat SMA, tahun 2007. Di tahun itu kali pertama saya menginjakkan kaki di Siola untuk membeli sepatu. Setelah kuliah, hampir setiap hari saya melewati Siola. Dengan rumah di Petemon dan kampus di ITS, jalan Tunjungan juga Jalan Genteng Kali adalah jalanan wajib pulang pergi ngampus. Dan saya bisa melihat dengan pasti, Siola terus berganti wajah. Mulai dari department store, jajaran para PKL, toko buah modern, hingga showroom mobil bekas. Setelah beberapa tahun “diswastakan”, Siola akhirnya dikelola sendiri oleh pemerintah Kota Surabaya.
Siola merupakan salah satu bangunan cagar budaya. UU Nomor 11 Tahun 2010 mendefinisikan cagar budaya sebagai warisan budaya yang bersifat kebendaan. Salah satunya berupa bangunan cagar budaya. Bangunan cagar budaya adalah susunan binaan yang terbuat dari benda alam atau benda buatan manusia untuk memenuhi kebutuhan ruang, berdinding dan/atau tidak berdinding, dan beratap. Dan Siola yang dibangun pada 1877 itu memenuhi syarat tersebut.
Cagar budaya perlu dilestarikan keberadaannya karena memiliki nilai penting. Tak hanya sejarah, namun juga ilmu pengetahuan, pendidikan dan kebudayaan. Sebagai kota yang menghargai perjalanan sejarah heroik, Kota Surabaya begitu concern terhadap cagar budaya. Dalam Perda Nomor 5 Tahun 2005, Kota Surabaya mengatur pelestarian bangunan dan/atau lingkungan cagar budaya. Melalui aturan ini, Kota Surabaya memberikan patokan bahwa bangunan cagar budaya adalah bangunan buatan manusia, berupa kesatuan atau kelompok, atau bagian-bagiannya atau sisa-sisanya, yang berumur sekurang-kurangnya 50 tahun, bangunan yang mewakili masa gaya yang khas dan mewakili masa gaya tersebut sekurang-kurangnya 50 tahun. Sebagai bangunan bersejarah yang dulu dinamai gedung HET ENGELSCHE WARENHUIS alias Toko Serba Ada Inggris, Siola ditetapkan sebagai cagar budaya melalui Keputusan Walikota tahun 2011 silam.
Penetapan Siola sebagai bangunan cagar budaya adalah upaya pelestarian cagar budaya. Bila berstatus sebagai cagar budaya, maka bangunan yang terletak di Jalan Tunjungan No 1-3 ini tidak boleh dipugar. Bangunan asli harus dipertahankan sehingga nilai sejarah, ilmu pengetahuan dan kebudayaan yang selama ini melekat pada Siola tetap dapat disaksikan dan dinikmati. Pelestarian ini juga bertujuan untuk memanfaatkannya sebagai kekayaan budaya serta dikelola untuk kepentingan pembangunan dan citra kota.
Struktur Siola yang kita lihat saat ini adalah struktur 50-an tahun yang lalu. Bentuknya sama. Hanya saja sering berganti warna dan kegiatan. Kenapa 50-an tahun? Bukankah Siola berumur 141 tahun? Betul. Namun bangunan aslinya pernah rusak dan diperbaiki.
Siola dibangun oleh investor Inggris, Robert Laidlaw sebagai pusat pertokoan dan grosir. Jika diibaratkan, Siola dimasa lalu seperti ITC yang menjual barang dengan eceran juga grosir. Kala itu, Robert adalah pemilik perusahaan ritel besar dunia, Whiteaway Laidlaw & Co. Pada 1935, Robert meninggal dan usahanya juga ikut mati.
Setelah itu Siola diambil alih oleh pengusaha dari Jepang. Siolapun berganti nama menjadi Toko Chiyoda yang digunakan sebagai lapak tas dan koper terbesar di Surabaya. Chiyoda begitu populer masa itu. Hingga banyak orang membaca peluang yang sama. Di Jalan Praban dan Gemblongan mulai muncul toko tas dan koper. Chiyodapun tak bertahan lama. Bukan karena persaingan, melainkan karena Jepang menyerah pada sekutu. Pengusaha dari Jepang itu mengakhiri masa Chiyoda tak lama setelah Jepang mengibarkan bendera putih pada sekutu. Chiyodapun kosong.
Tepat pada November 45, masa-masa menegangkan kala itu, Chiyoda difungsikan sebagai markas dan basis pertahanan rakyat Surabaya dari serangan sekutu. Chiyoda akhirnya rusak dan terbakar. Tak tahan disasar tembakan tank-tank pasukan sekutu. Chiyodapun tak terurus hingga Presiden Soekarno mengambil alih gedung menjadi aset Pemerintah Kota Surabaya pada 1950.
Tahun 1960, Siola kembali hidup. Lima pengusaha bernama Soemitro, Ing Wibisono, Ong, Liem dan Aang menyewa gedung dan merenovasinya. Setelah utuh kembali, para pengusaha tersebut memberi nama SIOLA sebagai akronim nama mereka. Siola dijadikan pusat grosir dan merupakan pusat perbelanjaan pertama di Surabaya. Masa kejayaan Siola ini terhitung cukup lama. Sayang, 1998 tutup. Siola kalah saing dengan pusat perbelanjaan baru seperti Tunjungan Plaza. Setelah tutup, Siola dijadikan sebagai pusat perdagangan elektronik bernama Tunjungan Center. Namun juga tak mampu bertahan. Siola kembali kosong.
Satu tahun menjelang, Siola akhirnya disewa oleh Ramayana Department Store. Namun Ramayana juga tutup pada 2008 karena sepi pengunjung. Siolapun kembali diubah namanya menjadi Tunjungan City dengan bergonta-ganti aktivitas. Tak berlangsung lama, Tunjungan City dikembalikan lagi namanya menjadi Siola. Pada 3 Mei 2015, Siola dibuka kembali dengan skema kegiatan yang berbeda. Tak lagi bersinggungan dengan bisnis dan ekonomi, Siola disulap sebagai Museum Surabaya. Berselang 2 bulan, tepatnya 15 Juli 2015, UPTSA Pusat juga resmi menghuni Siola. Puncaknya, pada 2017 lalu Siola diresmikan sebagai Mall Pelayanan Publik terpusat di Surabaya.
Hari itu, saya sengaja naik angkutan umum. Berjalan menyusuri trotoar Jalan Tunjungan yang lebar dan walkable. Sesekali mengambil foto bangunan yang dirawat baik walau tak berpenghuni. Dan berakhir di Siola, tujuan utama saya.
Apa yang saya temukan di Siola? Silakan lihat slideshow berikut.
10 tahun tak tahu arah, kini Siola kembali menjadi kebanggaan warga kota. Dengan dikembangkannya Siola sebagai Mall Pelayanan Publik, warga dapat menghemat waktu dalam mengurus perizinan yang bersifat paralel. Misal saat mengurus perpanjangan SIM, mereka cukup membayar di bank yang berjarak beberapa meter. Pun saat ingin membayar pajak. Kala diresmikan, Menteri PAN-RB Asman Abnur memberikan apresiasi, “Mall perizinan ini baru pertama ada di Indonesia dan bisa menjadi pilot project bagi kota-kota yang lain.”
Terbukti. Kini beberapa kota di Indonesia mulai mengembangkan Mall Pelayanan Publik. Pasca peresmian, Siola sangat ramai dikunjungi pemerintah kota lain untuk study banding. Bahkan Maret lalu, Joe Anderson, Walikota Liverpool dan wakilnya, Gary Millar juga Duta Besar Inggris untuk Indonesia, Moazzam Malik mengunjungi Gedung Siola. Mereka meninjau museum siola, command center room 112 dan KORIDOR. Bila dulu Gedung Siola dibangun oleh orang berkebangsaan Inggris, 2018 ini Siola kembali dijelajah oleh orang Inggris.
Kini setiap hari ratusan orang datang silih berganti untuk mengurus perizinan dan administrasi. Berinteraksi dengan pemerintah untuk mendapat pelayanan yang diinginkan. Cagar budaya ini kembali dihidupkan dengan kegiatan yang bermanfaat bagi masyarakat. Dirawat dengan baik, bersih, dan rapi.
--
PS. Seluruh foto dan video merupakan milik pribadi, kecuali ruangan Command Center 112 adalah milik detik.com, foto Siola Tahun 1937 oleh Facebook Page Surabaya Tempo Dulu + dan foto pawai yang melewati Jalan Tunjungan Tahun 1950 memperlihatkan Siola hancur oleh Akun Twitter @SbyTempoDoeloe
Keren ... Nice sharing!
ReplyDeleteThank you mba Dewi, terima kasih sudah mampir. :)
Deletesaya baru tau kalau siola sudah ditetapkan sebagai cagar budaya di surabaya. keren, surabaya memang banyak menyimpan tempat bersejarah
ReplyDeleteBetul mba, Kota Pahlawan memang punya banyak tempat sejarah. Dan saya pribadi salute sama pemerintah kota yang menjaga tempat tempat sejarah sebagai bagian dari cagar budaya. Siola sudah ditetapkan sebagai cagar budaya, dan banyak tempat lain yang juga sudah ditetapkan sebagai cagar budaya. Surabay punya tim yang fokus ke cagar budaya mba. Btw makasih sudah mampir. Salam kenal :)
DeleteIni artikel yang sangat sangat sangaaaaattt "bertenaga"
ReplyDeleteThanks for writing this, Eta!
JUARA!!
Thank you mba Nurul, terharu huhuhu.. Makasih selalu tularan semangatnya mba!
Delete*tularin semangat :)
DeleteWahh baru tahu, kalau siola itu mall di zaman penjajahan Inggris dan Jepang.
ReplyDeleteNice share mbak.
Good luck yaa.
Thankyou mbaak... Terima kasih sudah mampir <3
Delete9 tahun di Surabaya baru ngeh kalau Siola itu bisa dikunjungi macem gini. Kemane aje gue. Ya Allah...
ReplyDeleteSekarang malah udah di Bogor. Jadi, pengen balik ke Surabaya buat keliling kota. Huhuhu
Hihihi sini sini mba.. Banyak tempat kece di Surabaya sekarang. :)
DeleteSiola, aku baru tau mba.. salam kenal ya :) Surabaya keren.
ReplyDeleteSetelah berganti2 akhirnya jadi cagar budaya ya yg pas
Akhirnya jadi Mal Pelayanan Publik mba yang pas, hehehe
DeleteWah... keren. Salut dengan pemerintah kota Surabaya yang bisa memanfaatkan bangunan bersejarah sehingga bernilai sosial dan ekonomi bagi masyarakat .
ReplyDeleteBetul mbah Dyah, salut cagar budaya ini kini bisa punya soul yang melekat bagi warga maupun pemerintah kota. :)
DeleteKeren Siola. Seringnya cuma lewat saja. Sempat kepikiran, mall pelayanan apa sih. Eh disini dibahas lengkap dengan sejarah Siola.
ReplyDeleteKapan kapan bisa mampir mbak, main main ke Museum Surabaya. :)
DeleteThankyou udah mampir..
Owalah kupikir Siola itu semacam museum atau apa, ternyata bangunan lama yg dialihfungsikan ya.. klo di Bandung banyak ini semacam Siola
ReplyDeleteDi dalem siola ada museum juga mba.. :)
DeleteIya sih ya Bandung juga berkembang dr sebelum era merdeka, pasti punya banyak cagar budaya jg. Tp kalo di Bandung udah ditetapin cagar budaya atau blm ya mbak?
banyak perubahan ya mbak dari waktu ke waktu semoga makin berjaya cagar ini
ReplyDeletecagar budaya, hehehe
DeleteSaya jadi pengen ke Siola.. jalan2 anterin ya mbak, mau tau koridor nya hehe
ReplyDeleteBoleh mbak, tapi jangan bawa makanan ya hehehehe
Deleteterimakasih artikelnya.Menambah informasi ttg SIOLA
ReplyDeleteKamu tinggal di petemon dan kuliah di its kok pulang pergi lewat siola ? Gabut apa gimana wkwkwwkk
ReplyDeleteIya nih gabut wkwkwk
Delete