Sewaktu di Singapura, ada satu hal yang saya pahami.
Keindahan kota juga ditentukan oleh keharmonisan bangunan-bangunan yang
didirikan dengan sequence, atau
sekuensial atau berurutan. Well, saya belum pernah belajar arsitektur secara
mendalam. Tetapi mengamati kota dari hal-hal kecil ini ternyata mengasyikkan. Dan
dari sanalah saya bisa menjawab tanya, apa yang membuat kota terlihat menarik?
Banyak hal, salah satunya bangunan.
|
Jajaran toko ini membuat kota terlihat menarik
Taken by me
|
Bangunan di Jalan Pagoda Singapore ini salah satunya. Komposisi yang dihasilkan sebenarnya sederhana saja. Namun “enak” dipandang mata. Catnya berbeda sama sekali antar bangunan, tetapi tetap selaras. Ditambah dengan langit secerah itu, bangunan berdiri dengan pesona yang memukau mata. Saya berhenti dengan kesimpulan se-awam itu. Dan belum berniat mencari informasi mengapa bisa demikian, juga bagaimana bisa demikian. Sampai akhir tahun lalu, saya mendapatinya dengan tidak sengaja.
Akhir tahun 2017, satu kesempatan (baca: pekerjaan) menarik membawa saya memahami, bangunan yang “enak” dipandang itu ada ‘bumbunya’. Pada ranah tata ruang, terutama RDTR, peraturan zonasi yang direncanakan mencantumkan bagaimana detail bangunan diatur, dibatasi dan dikembangkan. Dan disanalah kunci bagaimana bangunan-bangunan pada koridor jalan dapat menghangatkan mata.
Dalam dunia arsitektur, “wajah bangunan” akan dikenali dengan unsur-unsur elevasi, dan bentuk massa bangunan. Elevasi bangunan umumnya bervariasi. Ada yang memiliki elevasi sama pada lantai dasar, namun ada yang berbeda ketinggian karena ketinggian kontur tanahnya berbeda. Sehingga, elevasi pada garis level dan garis atapnya juga berbeda. Begitu pula dengan bentuk bangunan. Bentuk bangunan, mudah dikenali dari tampilan bentuk atapnya. Atap bangunan ini bermacam-macam, bisa berupa pelana, perisai, atau kombinasi di antaranya, dan berbagai macam atap bangunan lainnya. Pada bangunan toko misalnya. Ada yang bentuk atapnya tidak terlihat karena tertutup fasade berupa tembok sehingga terkesan beratap datar. Selain keduanya, orientasi dan gaya arsitektur juga mempengaruhi “wajah” dari suatu bangunan.
Pada masyarakat kebanyakan, istilah elevasi, istilah wajah bangunan mungkin tak terlalu familiar. Masyarakat lebih awam dengan istilah IMB, -ijin mendirikan bangunan, right? Dalam proses pengajuan IMB, umumnya akan dipersyarakatkan berapa lantai yang boleh dibangun. Nah, pemberian rambu-rambu ketinggian lantai ini bukan tanpa alasan. Dalam tata ruang, ada istilah Intensitas Pemanfaatan Ruang (IPR), yang salah satunya adalah berupa KLB alias Ketinggian Lantai Bangunan. KLB diatur dalam peraturan zonasi yang merupakan bagian dari Rencana Detail Tata Ruang.
Mari kita lihat sekitar kita!
Di awal, saya sudah mengatakan bahwa keindahan kota juga ditentukan oleh keharmonisan bangunan-bangunan. Dan ini membuat kota terlihat menarik. Mudahnya adalah keselarasan bangunan. Maka elevasi, keterpaduan warna, dan tampilan bentuk perlu diseragamkan. Seragam dalam artian bukan sama, namun lebih mendekati istilah “selaras”.
Penggunaan warna-warni yang berbeda pada bangunan sejatinya bukan masalah. Namun perlu dicatat, warna bangunan satu dengan lainnya sangat penting untuk diselaraskan. Bisa dibilang semacam kita memadu-padankan warna baju. Akan sangat norak melihat baju berwarna hijau dipadankan dengan hijab berwarna merah menyala, atau ditambah sepatu kuning. Duh mirip traffic light ya?
Ada baiknya, penggunaan warna mengacu pada bangunan tertentu sebagai bangunan kuncinya. Tampilan kontras dapat diaplikasikan bila bangunan kontras tersebut dapat menjadi unsur dominan yang menyatukan bangunan di sekitarnya. Dan disinilah peran pemerintah, memberikan kejelasan aturan.
Lantas apakah aturan itu saja cukup? Noooooo. BIG NO. Aturan ini sama sekali tidak memiliki efek jika masyarakat yang menjalankan tidak mengindahkan hal-hal semacam ini.
Mari Jalan-jalan ke Batam, Jogja, Singapura juga Surabaya. Kita coba lihat, bangunan mana yang lebih menghangatkan mata.
Kemarin sore, saya menemani keponakan beli es krim di salah satu minimarket dekat rumah. Akhirnya saya ajak dia jalan kaki. Dan this is it!
|
Bangunan di salah satu jalan di Surabaya Taken by me
Di jalan ini, bangunan yang berdiri memang tergolong bangunan lama. Dan menurut saya, itu menjadi salah satu alasan mengapa bangunan-bangunan belum beraturan. Tidak hanya di koridor ini, tetapi juga di sudut kota lain yang bangunannya berkategori bangunan lama. Termasuk elevasi alias ketinggannya. Eits, bukan bangunan lama dalam arti di bangunan masa kolonial atau sebelum kolonial ya! Karena bangunan yang dibangun di masa itu, 'umumnya' memiliki konsep yang menarik. Foto bangunan-bangunan di jalan ini terlihat berantakan? Bisa jadi karena para pemiliki “berjalan sendiri-sendiri”.
Di Tahun 2012, saat libur semester, saya berkesempatan membantu Dinas Cipta Karya dan Tata Ruang terkait analisis pemberian ijin IMB, juga SKRK. Kebanyakan berkaitan dengan analisis pemanfaatan lahan untuk rumah tinggal. Ada hal-hal yang menjadi tolok ukur dalam penentuan kebijakan. Dan yang paling dicermati adalah tata ruangnya tidak bermasalah. Alias lahan peruntukannya sesuai. Nah aturan ini akan diberikan saat proses selesai. Misal lahan yang di analisa di jalan Mawar Blok Melati No 1111. Maka akan dianalisa, seperti penggunaan bangunan untuk rumah tinggal di jalan Mawar Blok Melati No 1111 termasuk dalam kategori perumahan ordo 3, persil berada pada peruntukan lahan perumahan, ketentuan intensitas bangunan KDB 60%, dengan KLB 120%. Ditambah dengan GSB seberapa, dan beberapa aturan lain yang perlu dipenuhi.
Dari Surabaya, coba kita terbang ke Batam. Ini adalah foto awal-awal pembangunan ruko di tak jauh dari Jalan Selasih. Super dekat dengan Perumahan KDA, dan Universitas Batam. Sekarang kondisinya pasti sudah luar biasa ramai.
|
Ruko di Kota Batam rapi dengan warna yang sama Taken by me |
Selain elevasi, penggunaan warna yang berulang juga
menjadikan ruko ini terlihat senada. Menarik, tidak lagi berantakan. Namun saya
pribadi entah mengapa justru melihatnya “flat”. Datar. At some point, maybe that’s loking good, but easily making bored.
Tapi harus saya akui, penerapannya sudah oke. Mungkin karena tergolong
bangunan-bangunan baru jadi lebih tertata. Di Batam, saya kurang tahu pasti,
tapi dari bisikan yang saya dengar, setidaknya ada 11 prasyarat untuk pengajuan
IMB. Yang aturannya ada di dua instansi, BP Batam dan Pemkot Batam.
Bagaimana dengan Jogja? Jogja termasuk kota lama.
Pertengahan tahun lalu, saya sempat mengambil foto ini ketika sarapan di Malioboro.
Kita bisa melihat di sisi kiri, bangunan berjajar memperlihatkan elevasi dan
warna yang senada. Namun di sisi kanan, ketinggian bangunan saling “kejar-kejaran”.
Terlebih dengan bangunan-bangunan di lapis kedua.
|
|
Jalan Malioboro Jogja di pagi hari Taken by me |
Di Jogja, entah itu di Jalan Sosrowijayan atau di jalan Dagen, kita akan dengan mudah menemui guest house, hotel, penginapan atau apapun itu yang bersedia menampung para wisatawan bermalam di sekitaran Malioboro. Bulan lalu, orang Jogja yang saya kenal mengatakan, di Jogja lebih banyak pengusaha mendirikan losmen ketimbang hotel. Karena pajaknya lebih murah. Namun cukup disayangkan, peningkatan ekonomi lokalnya tidak diimbangi dengan penataan ketinggian bangunan yang ciamik. Sehingga dari satu sisi saja, ketinggian bangunan yang tidak rapi ini “mengurangi” nilai tambah Jogja (khususnya Malioboro), sebagai salah satu destinasi wisata terbesar di Indonesia. |
Singapore terlihat menarik
Sebenarnya, apa yang
dimiliki kota yang juga negara, Singapore, untuk menggaet wisatawan. Universal
Studio? Marina Bay? Iya sih, but not really. Banyak kok wisatawan yang ke sana
ternyata sama sekali tidak menginjakkan kaki di Universal Studio. Tapi,
Singapore menjadi salah satu kota negara yang jumlah wisatawannya cukup
fantastis. Kalau saya menebak, ini hanya menebak lho ya, salah satunya mereka membuat
suasana kota menjadi lebih enek dipandang mata. Terlepas dari butik-butiknya,
cafe-cafenya, bisnisnya.
Coba lihat bangunan-bangunan berikut. It is not only look clasic, but also look
eye catching? Don’t you think so? Warna bangunannya tidak sama, tetapi
masih selaras. Ketinggian di tiap lantai sama persis. Mungkin ini bangunan
ruko-ruko seperti kalau di Surabaya kita bisa melihat Ruko Mutiara Dupak. Namun
ada yang berbeda, coba lihat signage toko mereka, senada. Dan itu terlihat
rapi. Hal-hal yang tampak remeh-temeh tetapi ternyata memberi impact besar.
Apakah pemasangan signage ini juga diatur di Singapura, entahlah. I know nothing about it.
|
Warna-warni bangunan di Singapore
Taken by me |
Tapi
kalau ada yang tanya, apa disana tidak ada yang parkir di pinggir jalan, di
depan bangunan ruko seperti di kota-kota di Indonesia. Tenang, jawabannya ada
kok. Parkir on street ternyata juga ada di beberapa lokasi. Look my next photo! Selain mobil-mobil
yang parkir di depan bangunan yang umumnya adalah kafe ini, bangunan yang
berdiri di sepanjang Jalan Mosque ini juga senada. Selaras. Dan entah mengapa
ini menjadi atraksi yang menarik sekali saat sight seeing di Singapore.
|
Parkir on street di depan bangunan-bangunan Jalan Mosque, Singapore
Taken by me. |
Okay,
that’s all. Saya yakin, secara teori, ada banyak ilmu yang saya lewatkan
terkait keselarasan bangunan ini. Entah itu keilmuan perencanaan ataupun ilmu
arsitektur. Kalau ada yang mau menambahkan, berbagi pendapat, ataupun
mengoreksi, feel free to leave a comment ya! Let’s discuss it!
|
Comments
Post a Comment
Terimakasih sudah komentar. Komentar akan muncul setelah proses moderasi. :)